Rabu, 14 Mei 2014

PERANG KETUPAT (Perang Tipat Bantal)


Lokasi : Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung
Deskripsi singkat :
             Perang ini adalah sebuah ritual tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Perang Ketupat merupakan bentuk rasa terima kasih warga kepada Sang Hyang Widhi atas panen juga sebagai doa agar terhindar dari kekeringan. Perang yang tergolong unik itu setiap tahun sekali wajib dilakukan masyarakat Desa Kapal, kabupaten Badung, sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263 atau tahun 1341 masehi.
           Kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga kini masih tetap lestari. Perang ketupat itu ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah Pengangon oleh masyarakat setempat. Ritual ini diawali dengan upacara sembahyang bersama oleh seluruh warga desa di pura setempat. Pada upacara tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta Perang Ketupat ini.
               
                Foto :

TRADISI PERANG YANG MASIH ADA DI BALI



 PERANG API (Ter-Teran/Siat Geni)
Lokasi : Desa Pakraman Jasri, Karangasem
Deskripsi singkat :
Tradisi dengan sarana prakpak (daun kelapa kering) digelar setiap dua tahun sekali, tepatnya pada hari Pangerupukan atau sehari sebelum hari raya Nyepi.  Tradisi perang api didesa Jasri, selain untuk menyambut pergantian tahun baru caka, juga dilakukan serangkaian dengan upacara usaba Dalem didesa adat setempat
Sebelum perang api dimulai, warga yang mengikuti tradisi tersebut sebelumnya melakukan persembahyangan. Selanjutnya mereka terbagi dalam tiga kelompok besar masing-masing menempati sebelah utara disekitar pohon beringin, sebelah selatan dipatung salak dan bagian tengah di Bale Agung. Meskipun panas terkena semburan api, namun ratusan warga Jasri yang mengikuti tradisi tersebut nampak tetap bersemangat. Tidak ada terlihat wajah ketakutan. Tradisi dua tahunan ini juga menjadi tontonan wisatawan.
                Foto :
                

Tradisi Perang Siat Sampian


Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Pura Samuan Tiga ini juga menarik perhatiann wisatawan asing, demikian dikutip dari artikel perang sampian di Pura Samuan Tiga. Juga dalam kutipan artikel tersebut dijelaskan pula bahwa, sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka seperti burung gagak (goak).

Prosesi ini diikuti oleh para permas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau sameton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak (melakukann gerakan seperti ombak).

Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.

“Nampiog, Ngober, Meguak-guakan dan Ngombak merupakan suatu proses penyucian sebelum upacara Siat Sampian dilakukan,” kata I Wayan Patra, tokoh adat di Pura Samuan Tiga dalam suatu kesempatan.

Lalu apa makna yang terkandung dalam tradisi “Siat Sampian” ini?

“Sampian itu merupakan lambang senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma (kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi,” jelas Patra.

Selain simbol perang terhadap kejahatan, siat sampian juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.

Mekepung Benhur Jembrana, Bali Oleh Adang Suprapto

K abupaten Jembrana adalah Kabupaten yang terletak di Bali Barat, masyarakatnya adalah agraris yang terkenal dengan organisasi yang disebut Subak yaitu organisasi yang mengatur tentang pengairan di sawah.

Mekepung Masyarakat petani dalam melakukan aktifitas pertanian di sawah dengan memanfaatkan alat-alat tradisional yang paling populer disebut bajak.

Dalam pengolahan tanah dibagi dalam tahapan-tahapan kegiatan yaitu untuk menggemburkan tanah memakai bajak tenggala.

Untuk membersihkan tanah dari gulma-gulma memakai bajak jangkar, untuk melumatkan tanah menjadi lumpur memakai bajak lampit slau, dan terakhir untuk menghaluskan tanah memakai bajak plasah.

Setelah permukaan tanah lumpur tersebut halus baru ditanami padi bulih (tanaman pohon padi yang masih muda), yang mana dalam proses aktifitas pertanian di sawah ini masyarakat Bali menerapkan sistim kerja ngajakan (kerja gotong royong/bekerja saling bantu membantu tanpa imbalan jasa).

Untuk menarik bajak ini dipakai kerbau dua ekor berpasangan, yang dituntun oleh seorang Sais / Joki yang duduk di atas bajak tersebut.

Asal mula Mekepung di Bali Barat yaitu di Kabupaten Jembrana.

Mekepung artinya berbalapan (pacuan) cepat-cepatan mengejar sampai penaripan (tempat finish).

Inspirasinya muncul dari kegiatan tahapan proses pengolahan tanah sawah yaitu tahap melumatkan tanah menjadi lumpur dengan memakai bajak lampit slau.

Dalam proses melumatkan tanah, petani sawah bekerja secara gotong royong bersama rekan-rekannya petani sawah termasuk beserta sanak keluarganya dalam mempersiapkan konsumsinya.

Bajak lampit slau ditarik oleh dua ekor kerbau dan sebagai alat menghias kerbau maka pada leher kerbau tersebut dikalungi genta gerondongan (gongseng besar).

Sehingga apabila kerbau tersebut berjalan menarik bajak lampit slau maka akan kedengaran bunyi seperti alunan musik rock (dengan suara gejreng-gejreng).

Karena bekerja gotong royong maka banyak ada bajak, yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kerbau yang ditunggangi oleh seorang sais/Joki duduk di atas bajak lampit slau.

Dalam kegiatan ini sais tersebut mulai ada yang ingin mengadu kebolehan kerbaunya dalam kekuatan menarik bajak.

Disinilah awal mulanya terjadi mekepung yaitu adu kekuatan kerbau menarik bajak sehingga untuk pertama kalinya adanya atraksi mekepung adalah mekepung di sawah yang berisi tanah lumpur.

Adapun sirkuit Makepung pada sawah yang berisi tanah lumpur adalah di Subak Pecelengan Desa Mendoyo Dangin Tukad, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana – Bali.

Lama-kelamaan kegiatan atraksi ini diikuti oleh petani lainnya dan berkebang di wilayah lainnya seperti di Subak Temuku Aya Desa Tegalcangkring, Subak Tegak Gede di Desa Yehembang dan Subak Mertasari di Kelurahan Loloan Timur, Subak Telepud Desa Dlod Berawah, Subak Tegal Berkis Desa Banyubiru.

Kemudian berkembang khusus menjadi Atraksi Mekepung di Sawah yang kegiatannya dilakukan secara bergilir pada saat mulai ada air di sawah, yang menyuguhkan tontonan yang sangat menarik bagi penggemar seni atraksi Mekepung.

Atraksi Mekepung di sawah ini berkembang sekitar tahun 1930 dan Sais/Jokinya berpakain ala prajurit Kerajaan di Bali jaman dulu yaitu pakai destar, selendang, selempod, celana panjang tanpa alas kaki dan dipinggang terselip sebilah pedang yang memakai sarung poleng (warna hitam putih).

Bajaknya dihias dengan memakai berokan (bendera kecil) dengan warna warni dan berisi gambaran lukisan tokoh-tokoh pewayangan seperti Hanoman, Bima, Ngada, Menda, Gatot Kaca, Legeni dan lain-lainnya.

Sedangkan kerbaunya dihias sedemikian rupa yaitu mukanya pakai rumbing (hiasan ukiran yang terbuat dari kulit sapi). Dan tanduknya dihias dengan slop tanduk yang terbuat dari kain warna poleng (hitam putih).

Alat cemeti kerbau memakai tongkat yang terbuat dari pohon rotan dan tidak jarang alat cemeti ini berisi Magic (Ilmu Gaib) agar dengan mudah bisa mengalahkan lawannya dalam Makepung.

Dalam atraksi Makepung rata-rata kerbaunya berisi Ilmu Magic, sehingga dalam Makepung yang bertarung adalah Ilmu Magicnya, sehingga ada kadang-kadang kerbaunya tidak bisa lari karena pengaruh Ilmu Magic.

Berselang beberapa lama karena setelah selesai atraksi Mekepung di tengah sawah berlumpur para Sais/Joki selalu kotor dilumuri lumpur maka Atraksi Mekepung ini kemudian berkembang menjadi Mekepung di jalan yang ada di Sawah.

Atraksi Makepung di jalan yang ada di sawah ini berkembang mulai tahun 1960 dengan dibentuk organisasi Mekepung yang terdiri dari dua kelompok.

Kelompok yang berada di sebelah timur sungai Ijo Gading (Blok Timur), diberi Nama “Regu Ijo Gading Timur” dengan lambang Bendera warna merah dan kelompok yang berada di sebelah Barat Sungai Ijogading (Blok Barat), diberi Nama “Regu Ijo Gading Barat” dengan lambang Bendera Warna Hijau.

Ijo Gading adalah nama sebuah sungai yang membelah jantung Kota Negara, ibu kota kabupaten Jembrana, menjadi dua bagian yaitu belahan kota sebelah barat sungai Ijo Gading dan belahan sebelah timur sungai Ijo Gading.

Sarana yang dipakai bukan lagi Bajak Lampit Slau melainkan Pedati dengan ukuran sangat mini yang dihiasi dengan ukiran yang sangat menarik.

Para Sais/Joki berbusana tradisional Bali yaitu kepala memakai destar batik, baju tangan panjang memakai selempod, memakai celana panjang dan memakai sepatu tetapi tidak menyelipkan pedang.

Kerbaunya dihiasi dengan gelung rumbing pada kepalanya yaitu sejenis mahkota pada kepala kerbau, sedangkan tanduknya diisi slop tanduk dengan warna poleng yaitu warna hitam putih atau warna merah hitam.

Dengan keunikan penampilan Atraksi Mekepung ini yaitu sangat indah dan mempesona sehingga Mekepung ini diberi julukan “BENHUR JEMBRANA”.

BENHUR adalah Trade Mark Jembrana sehingga daerah Jembrana dikenal dengan sebutan Bumi Makepung, karena di daerah Jembrana satu-satunya ada Atraksi Mekepung.

Pengurus Mekepung.

Sebagai Pengurus Harian dibentuk pengurus yang namanya Koordinator Mekepung Kabupaten Jembrana dan masin-masing regu makepung dipimpin oleh Ketua Regu yaitu Ketua Regu Ijo Gading Timur (Blok Timur) dan Ketua Regu Ijo Gading Barat (Blok Barat).

Masing-masing Regu membawahi 100 pasang kerbau pepadu (kerbau mekepung) dengan nama masing-masing pasangan kerbau sangat berpariasi.

Adapun nama-nama pasangan Kerbau antara lain : Bayu Segara, Batu Api, Embak Lampir, Nini Pelet, Raden Bentar, Hanoman, Gerandong, Mantili, Lasmini, Simo Barong, Rambut Api, Teledu Nginyah, dan lain-lainnya yang namanya sangat unik.

Nama-nama ini sengaja dipilih dari nama-nama yang terdapat pada Legenda-legenda yang sangat populer dan para Sais/Joki menginginkan agar kerbaunnya bisa lebih populer sesuai dengan nama besar lakon legenda tersebut.

teknik Mekepung


a. Teknik Mekepung pada sirkuit Makepung di tanah sawah berlumpur.


  • Sawah yang dipakai untuk Mekepung adalah sawah yang petakannya agak luas dengan ukuran panjang 100 meter, dengan lebar 50 meter.


  • Pasangan kerbau pepadu (kerbau aduan) Mekepung ditempatkan Berjajar kesamping yaitu bisa jajar tiga sampai lima pasang kerbau yang menarik bajak slau.

  • Mekepung
  • Garis start dan garis finish dalam istilah Mekepung disebut Penaripan, yang letaknya pada satu tempat dalam artian start disana dan finish juga disana.


  • Pasangan kerbau paduan yang sudah berjajar kemudian diberi komando oleh Sayo (Juri Mekepung), dengan aba-aba : satu, dua, tiga, maka pada hitungan ketiga pepadu tersebut lari berbalapan (berpacu) cepat-cepatan mengejar Penaripan (garis finish).


  • Lari kerbau pepadu diatur bolak balik sekaligus yaitu mulai dari start lari menuju batas ujung sawah dengan jarak 100 meter dan setelah sampai dibatas ujung sawah maka kerbau pepadu tersebut langsung lari balik menuju garis finish yang letaknya sama pada garis start.


  • Sehingga kerbau pepadu tersebut lari menempuh jarak bolak balik sepanjang 200 meter.



  • Bagi pasangan kerbau yang paling dahulu bisa mencapai Penaripan (garis finish) dinyatakan sebagai pemenang.


  • Hadiah bagi pemenang Mekepung berupa kebanggaan karena Atraksi Mekepung adalah atraksi hiburan bagi penggemar Mekepung.



  • b. Teknik Mekepung pada sirkuit Mekepung di jalan yang ada di sawah


  • Jalan yang dipakai sirkuit Mekepung adalah jalan tanah yang berpasir dengan ukuran panjang 1 kilometer, lebar jalan 4 meter dengan bentuk jalan berupa huruf “U”.


  • Garis start dan garis finish ada pada satu tempat, pada garis start dan garis finish ada Tim Juri yang berjumlah 3 (tiga) orang yaitu 2 (dua) orang sebagai juri garis dan yang 1 (satu) orang memegang 3 (tiga) buah bendera, yaitu bendera warna merah 1 (satu) buah, bendera warna hijau 1 (satu) buah dan bendera warna poleng (warna hitam putih) 1 (satu) buah.


  • Apabila pepadu dari Blok Barat (Ijogading Barat) yang menang maka bendera warna hijau diangkat oleh juri.


  • Dan apabila pepadu dari Blok Timur (Ijogading Timur) yang menang maka bendera warna merah yang diangkat oleh juri.


  • Sedangkan apabila pepadu itu sapih (drow) maka bendera warna poleng (warna hitam putih) yang diangkat oleh juri.



  • Cara berlomba kerbau pepadu :


  • Kerbau pepadu yang menarik Pedati dipasang / ditempatkan berurutan di jalan yaitu ditempatkan berjajar ke belakang, jadi 1 (satu) pasang kerbau pepadu ditempatkan di depan dan 1 (satu) pasang kerbau lawannya ditaruh dibelakang, dengan jarak antara di depan dan di belakang dengan ukuran satu pedati yaitu sepanjang 5 meter.


  • Pasangan kerbau pepadu yang sudah mulai start diberi komando oleh juri berupa aba-aba : satu, dua, tiga dan pada hitungan tiga kerbau pepadu mulai lari menuju batas ujung jalan sirkuit.


  • Sampai di ujung jalan sirkuit pasangan kerbau tersebut berhenti dan mengaso, jadi tidak langsung kembali balik ke garis finish.


  • Setelah pasangan kerbau pepadu seluruhnya yang berjumlah 100 (seratus) pasang sudah dilepas, baru pasangan kerbau pepadu yang lari pertama mulai start untuk lari menarik pedati menuju garis finish, dan disinilah penentuan mana yang menang dan yang kalah.


  • Karena Mekepung dalam berlomba memakai blok (regu) maka yang menang adalah blok (regu), bukan perorangan.


  • Apabila pasangan kerbau pepadu Blok Timur (Regu Ijogading Timur) yang lebih banyak menang maka Blok Timur (Regu Ijogading Timur) dinyatakan sebagai pemenangnya.


  • Begitu pula sebaliknya berlaku bagi Blok Barat (Regu Ijogading Barat). Apabila pasangan kerbau pepadu lebih banyak yang menang maka Blok Barat (Regu Ijogading Barat) dinyatakan sebagai pemenangnya.


  • Cara menentukan pemenang dalam Mekepung :


  • Mekepung di jalan adalah lomba lari kejar-kejaran yaitu apabila pasangan kerbau pepadu yang ada di depan larinya bisa meninggalkan lawannya yang ada dibelakang lebih panjang dari jarak 5 meter, maka yang di depan dinyatakan sebagai pemenangnya.


  • Apabila pasangan kerbau pepadu yang di belakang larinya bisa mendekat sampai jaraknya kurang dari 5 meter dengan pasangan kerbau pepadu di depannya maka pepadu yang di belakang, dinyatakan sebagai pemenangnya.


  • Menang dan kalah kerbau pepadu ini dinilai setelah kerbau pepadu tersebut mencapai garis finish.


  • Hadiah bagi pemenang Mekepung adalah berupa piala dalam bentuk Tropi dan dalam bentuk uang dalam jumlah tertentu dari Bupati Jembrana dan Gubernur Bali.


  • Piala ini ada dua jenis yaitu : Piala Bupati Cup dan Piala Gubernur Cup.



  • Kalender Mekepung

    Atraksi Mekepung dilaksanakan setiap hari Minggu dan dapat disaksikan mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Oktober yaitu berupa latihan dan sepuluh kali pertandingan dalam bentuk pertandingan lokal, pertandingan perebutan piala Bupati Cup (Bulan Agustus) dan pertandingan perebutan Piala Gubernur Cup (Bulan Oktober).

    Sirkuit Mekepung di jalan yang ada di sawah untuk pertandingan lokal ada di Dlod Brawah, Mertasari Loloan Timur, Tegal Berkis Desa Banyubiru, Temuku Aya Desa Tegalcangkring dan Kaliakah.

    Sedangkah sirkuit Mekepung untuk pertandingan Bupati Cup dan Gubernur Cup ada di sirkuit Mekepung Desa Dlod Brawah yang ada di pinggir pantai dan sirkuit Mekepung di Tegal Berkis yang ada di Desa Banyubiru.

    OMED-OMEDAN




    Salah satu warisan budaya di Bali yang masih dilestarikan sampai sekarang adalah Festival Omed-Omedan, yaitu ciuman massal ala anak muda Bali. Tidak sama dengan aksi foto bugil massal yang dilakukan oleh Spencer Tunick, aksi ciuman massal ala anak-anak muda Bali ini bukan aksi pornografi. Ciuman massal yang dilakukan para pemuda dan pemudi di Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar merupakan tradisi omed-omedan yang diselenggarakan tiap tahun untuk melestarikan warisan leluhur.
    Dalam bahasa Bali, omed-omedan bermakna tarik-menarik. Proses omed-omedan  diawali dengan memisahkan pemuda dan pemudi menjadi dua kelompok. Kemudian satu persatu pasangan di arak dan saling berpelukan dan berciuman. Mesti rutin di gelar, tidak sedikit peserta wanita tampak malu-malu. Sebaliknya peserta pria justru antusias sehingga mengundang tawa penonton.
    Bayu salah seorang peserta pria mengaku malu tapi tidak apa-apa untuk melestarikan budaya leluhur. Sementara Dewi Sukma seorang peserta wanita mengaku malu karena ciuman.
    Dalam acara omed-omedan ini, usia peserta dibatasi. minimal SMP dan belum lulus kuliah dan belum menikah. Selain itu, semua peserta diwajibkan menggunakan pakaian adat khas Bali.
    Erwin Suryadharma, Kabag Humos Pemkot Denpasar mengungkapkan bahwa tradisi ini adalah juga ajang silaturahmi bagi setiap warga. Dulu warga sini sebagian besar adalah petani yang sibuk bekerja di sawah sehingga waku bertemu tetangga sangat sedikit. Kondisi sekarang juga sama. Sehingga acara omed-omedan ini sanagat baik untuk terus dilestarikan.



    Asal usul festival ciuman massal ini berasal dari cerita rakyat pada jaman dulu. Konon saat itu Raja Puri Oka sedang sakit keras dan tidak ada tabib istana yang bisa menyembuhkan sakitnya. Pada hari raya Nyepi, masyarakat di Puri Oka mengelar acara omed-omedan (tarik-tarikan). Karena suasana begitu meriah maka tercipta kegaduhan yang membuat Raja yang sedang sakit marah besar.
    Bermaksud menghentikan acara, sang Raja berjalan terhuyung-huyung keluar istana. Dan ajaib sang raja tiba-tiba sembuh setelah melihat acara omed-omedan tersebut. Akhirnya Raja mengeluarkan titah agar acara omed-omedan harus digelar setiap tahun setelah upacara Nyepi
    Tradisi cium-mencium omed-omedan sudah berlangsung sejak abad 17. Dan terus dilaksanakan setiap usai perayaan hari raya upacara Nyepi. Selain menjaga kebersamaan, warga khawatir akan terjadi petaka jika tradisi ini dihentikan, oleh karena itu tradisi ini terus dilestarikan sampai sekarang.

    Ogoh-ogoh


    "Ogoh-Ogoh" merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian "Bhuta Kala" dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan "ogoh-ogoh" yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini. Pada saat "Pangrupukan" atau sehari menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap Banjar (pemangku adat setingkat Kelurahan) di Bali akan berlomba dalam hal membuat "ogoh-ogoh" semenarik mungkin. Bila pembuatannya lebih bernilai seni, rumit, dan lebih mutakhir, maka "ogoh-ogoh" itu diharapkan bisa menaikkan martabat Banjar yang membuatnya.
    Fungsi utama "ogoh-ogoh" adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana "ogoh-ogoh" tersebut akan diarak beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Pangrupukan). Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, prosesi ini melambangkan keinsyafan diri manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan "Bhuana Agung" (alam raya) dan "Bhuana Alit" (diri manusia). Dalam pandangan filsafat (tattwa), kekuatan tersebut dapat mengantarkan makhluk hidup di alam raya, khususnya manusia dapat menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua itu tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri serta seisi dunia.

    Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala melambangkan kekuatan alam semesta (bhu) dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, "Bhuta Kala" digambarkan sebagai sosok yang besar menakutkan dan pada umumnya berupa wujud raksasa (rakshasa). Raksasa adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam "Yakshagana", sebuah seni populer dari "Karnataka". Menurut mitologi Hindu dan Budha menyatakan, kata "rakshasa" mempunyai arti "kekejaman", yang merupakan lawan dari kata "raksha" yang artinya "kesentosaan". Namun tidak semua raksasa memiliki kepribadian yang kejam, seperti Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu, yang mendapat berkah dari dewa karena mereka memuja Dewa Brahma. Menurut kitab Ramayana menguraikan, bahwa raksasa diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Sedangkan menurut kisah lain, mereka berasal dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti, dan Nirrita.
    Dengan keberadaan arak-arakan "Ogoh-Ogoh" yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Karena selain memiliki keindahan tempat-tempat wisata, Balipun memiliki kekayaan budaya yang menjadi andalan kepariwisataan. Serasa belum lengkap bilamana wisatawan berkunjung tidak melihat prosesi "Ogoh-Ogoh" pada penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka.


    ni beberapa gambar ogoh-ogoh yang ada di bali


    Banjar Lebah, Dentim
    "Ngubes"
    20 Besar se-Denpasar
    Taken from Instagram

    Banjar Dauh Tangluk, Dentim
    "Detya Kala Maya"

    Banjar Dangin Tangluk, Dentim
    "Nangluk Merana"

    Banjar Pitik Pedungan, Densel
    20 Besar se-Denpasar
    Taken from Instagram

    Banjar Peken, Dentim 
    "Sri Bedahulu"

    Banjar Kerta Bumi, Dentim

    Banjar Tegalkuwalon, Dentim

    Banjar Tega Tonja, Denut
    20 Besar se-Denpasar

    Banjar Tatasan Kaja, Denut
    "Narasinga Mamurti"

    Banjar Abian Kapas Kaja, Dentim
    "Durga Mahisasuramardini"
    20 Besar se-Denpasar

    Banjar Bengkel, Dentim
    "Nircaya Lingga eps. II"


    Banjar Kepisah, Dentim

    Banjar Sebudi, Dentim

    Banjar Tanjung Bungkak Kaja, Dentim

    Banjar Tanjung Bungkak Kelod
    "Cupak Grantang"

    Banjar Kelandis, Dentim
    "Ajian Paksa Bhairawa Murti"

    Banjar Gemeh, Denbar

    Banjar Pekambingan, Denbar
    "Tabuh  Rah"

    Banjar Belaluan, Denut
    20 Besar se-Denpasar

    Banjar Tainsiat, Denut
    "Sang Kalikamaya"

    Banjar Kaliungu Kaja

    Banjar Kayumas Kaja
    "Durga Mahisasuramardini"

    Tradisi Heroik Dewa Mesraman


    Hari telah sore dan langit saat itu sedikit mendung, beberapa awan menggelantung di atas langit, meski tidak pekat namun membuat sore kian terlihat temaram. Lalu lalang kendaraan depan rumah kian rame saja, selain karena memang satu-satunya jalan raya penghubung Karangasem – Klungkung, hari-hari seperti ini memang banyak hilir mudik pengendara motor, kebanyakan diantaranya memakai pakaian adat Bali, hari itu memang salah satu hari raya besar yang dimiliki umat Hindu Bali yakni hari raya Kuningan.
    Saya sudah siap dengan pakian adat dan tas berisi kamera yang diselempangkan di bahu sembari pamitan sama orang tua saya menghidupkan mesin motor. Saya memang sudah melakukan persembahyangan tadi pagi, dengan pakian adat ringan saya akan mengunjungi tradisi unik yang ada di Banjar Timbrah tepatnya di Pura Panti, Desa Paksebali, Klungkung. Tradisi heroic yang memang bertepatan dengan Kuningan. Mengingat jarak rumah ke Paksebali lumayan dekat jadi saya putuskan datang jam 5 sore, info yang saya dapat dari salah seorang teman upacara akan dimulai jam 6 sore. Ini waktu yang terbilang mempet, datang sedikit lebih awal akan sedikit menguntungkan, barangkali bisa menangkap hal-hal unik lain yang ada dalam tradisi tersebut.
    Dewa Masraman, beberapa orang sedang menggotong Jempana sambil berlarian mengelilingi areal pura.
    Dewa Masraman, beberapa orang sedang menggotong Jempana sambil berlarian mengelilingi areal pura.
    Tradisi yang unik ini memiliki kesamaan dengan tradisi yang ada didesa Bugbug, Karangasem, biasanya tradisini ini dilakukan disimpang empat desa dan  disebutnya dengan tradisi Mebiasa yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Jempana. Entah apa yang melatar belakangi tradisi dua desa yang memiliki jarak yang lumayan jauh, satunya terletak dikecamatan Karangasem dan satunya lagi terletak di kecamatan Klungkung. Barangkali ada ikatan yang erat yang belum saya ketahui, selain memang berasal dari satu rumpun budaya Bali.
    Ini adalah kunjungan perdana saya acara ini, waktu yang mepet dan sama sekali tidak tahu persis lokasi upacaranya dan sendirian pula, setelah bertanya pada penduduk setempat maka sampailah saya dipura tempat acara yang akan berlangsung yang ternyata untuk menuju lokasi upacaranya saya harus melalui gang yang hanya bisa dilalui satu mobil. Rupanya acara awal sudah berlangsung, sebagian pemedek sudah siap-siap akan turun menuju pura yang ada dibawah dekat sungai Unda dengan membawa berbagai macam prasarana upacara termasuk Jempana, alat berbentuk tandu yang digotong dua orang atau lebih sebagai simbolisasi stana para dewa. Inilah proses awal dari upacara Dewa Masraman, yang lumayan bikin saya ngos-ngosan menuruni anak tangga, ketahuan sekali jika saya memang jarang berolah raga, payah! Tak lebih dari 20 menit kemudian setelah proses persembahyangan berakhir mereka kembali ke atas ke Pura Panti dan disinilah puncak tradisi heroik dari Dewa Masraman itu berlangsung.
    Sore menggeliat, bumi semakin remang, aroma dupa kian semerbak, suara gambelan mengalun seiring teriakan-teriakan dari para pembawa Jempana membuat suasana semakin mistis. Begitu tiba di pelataran pura para pengusung Jempana melakukan putaran beberapa kali, dimana tadinya satu Jempana diusung oleh dua hingga empat orang kini berubah menjadi belasan yang mengusung berputar-putar dengan penuh semangat sembari berteriak hingga tak ayal terjadi benturan-benturan dengan para pengusung Jempana lain yang jumblahnya tujuh buah. Pelataran pura yang tak lebih dari 3 are itu dipenuhi umat yang datang selain pengunjung yang juga antusias melihat tradisi Dewa Mesraman, sesekali debu berterbangan akibat atusiasnya pengusung Jempana berlarian menginjak tanah yang kering. Semakin keras suara Tetabuhan (suara gong) maka semakin kencang dan semangat pula mereka berlarian berputar di areal pura.
    Suasana chaos berlangsung, satu persatu Jempana berusaha dimasukan ke dalam areal utama pura, mengingat pintu masuk yang kecil yang saya rasa hanya bisa dimasuki oleh satu badan manusia saja, maka tak ayal terjadi sedikit keributan ketika masih banyak penggotong Jempana yang memaksakan diri untuk masuk, sebagian dari mereka justru dalam keadaan trans, disinilah upaya-upaya masuk ke jaba pura terlihat semakin seru. Disudut lain beberapa pemangku memercikan tirta ke orang-orang yang kerasukan, sebagian dari mereka tak sadarkan diri bahkana ada yang pingsan, mungkin saking lelahnya. Keadaan makin terkendali seiring satu persatu dari jempana bisa dimasukan ke dalam areal utama Pura Panti.
    Setelah terbius beberapa jam dari tradisi Dewa Masraman saya baru menyadari betapa keringnya kerongkongan saya, haus tak tertahankan. Kemudian bertemu beberapa teman-teman fotografer yang hadir disana, sempat berbincang sambil meneguk air mineral yang kami beli diwarung dekat pura. Hari telah malam, lampu-lampu pengganti matahari telah berpijar, hearphone sudah terpasang dan saya pacu motor dengan santai menuju Denpasar.
    Susana pelataran Pura Panti, sebelum prosesi acara Dewa Masraman.
    Susana pelataran Pura Panti, sebelum prosesi acara Dewa Masraman.
    dewa masraman, paksebali (2)
    Ibu-ibu dengan membawa berbagai macam sarana upacara berbaris menuju pura di dekat Sungai Unda
    dewa masraman, paksebali (3)
    Anak-anakpun tak punya andil sendiri didalam tradisi ini, mereka sedang membawa panji-panji termasuk bendera Sang Saka Merah Putih.
    dewa masraman, paksebali (5)
    Menuju pura di bawah, nampak sungai Unda terlihat disisi barat jalan.
    dewa masraman, paksebali (6)
    Penari rejang, penari yang nantinya menyambut kedatangan Jempana dari upacara pura di bawah.
    dewa masraman, paksebali (7)
    Iring-iringan pertama yang sampai di pelataran pura.
    dewa masraman, paksebali (8)
    Tradisi inipun tak luput dari keris, pusaka yang nantinya dipakai untuk Ngurek (menusuk-nusukan keris kebadan) ketika mereka sedang trans
    dewa masraman, paksebali (10)
    Suasana chaos, benturan Jempana disana-sini, berbahaya bagi peserta maupun saya sendiri.
    dewa masraman, paksebali (11)
    Menghunus keris, seorang bapak-bapak sedang menghunus keris sambil menari-nari mengikuti irama gambelan.
    dewa masraman, paksebali (12)
    Rata-rata dari penggotong Jempana adalah bapak-bapak yang memakai baju singlet, entah kenapa.
    dewa masraman, paksebali (13)
    Pingsan, tak ayal beberapa penggotong Jempana pingsan karena kehabisan tenaga.
    dewa masraman, paksebali (14)
    Penjaga pintu, ada beberapa orang yang tugasnya memang menjaga pintu gapura menuju pura untuk membantu meloloskan Jempana.
    dewa masraman, paksebali (15)
    Beginilah cara mereka memasukan Jempana yang menurut saya bisa mengakibatkan cendera.
    Jempana terakhir yang dimasukan ke dalam pura.
    Semakin malam semakin seru, Jempana terakhir yang dimasukan ke dalam pura.

    Tradisi Mageret Pandan (Perang Pandan Berduri)


    Tradisi sakral Bali Aga ini menggunakan pandan berduri dan sangat tajam ini adalah unik dan menurut ramagita, Tradisi Mageret pandan atau Perang Pandan (Mekare-kare) dilakukan selama tiga hari dan juga tradisi ini merupakan sarana latihan ketangkasan seorang prajurit dalam masyarakat Tenganan  sebagai penganut Agama Hindu aliran Dewa Indra sebagai Dewa Perang.

    Perang Pandan (Makare - kare), http://endrone.blogspot.com
    Yang terpenting dalam perang pandan tersebut tidak ada menang kalah. Kalau ada yang sampai terluka akibat goresan pandan akan diobati dengan obat yang telah disediakan yang berasal dari cuka kunir dan isen. Tak heran jika Perang pandan ini menjadi tontonan menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.

    Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya dimana Umat Hindu Bali yang menjadikan Tri Murti sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan, Dewa Indra sebagai dewa perang adalah dewa dari segala dewa.

    Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan Karangasem Bali.

    Tradisi Adat Makotek / Ngrebeg


    Tradisi Adat Makotek / Ngrebeg adalah warisan budaya sejak jaman kejayaan kerajaan mengwi yg mempunyai wilayah sampai di Jawa Timur, ngrebeg dilaksanakan tiap 6 bulan sekali setiap saniscara wuku kuningan atau setiap sabtu bertepatan di Hari Raya Kuningan di desa Munggu Kecamatan Mengwi Badung Bali.

    Keterangan tersebut berasal dari Video Youtube Tradisi Ngrebeg Munggu yang dapat anda tonton dalam halaman ini.
    Tradisi Makotek atau Ngrebeg
    Foto dari Wisata Bali
    Dikutip dari Wisata Bali tentang Makotek, Merupakan perayaan untuk memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi ketika perang melawan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi, Jawa Timur.
    Tradisi Makotek sendiri akhirnya sampai sekarang sering diperingati, dengan maksud memohon belas kasihan Tuhan supaya menghindarkan dari wabah penyakit atau segala bahaya yang mengancam kampung Munggu sendiri.
    Biasanya sebelum tradisi Makotek dimulai maka para peserta akan lebih dulu melakukan persembahyangan bersama di sebuah pura desa. Kemudian dipercikkan air.

    Para peserta Makotek yang ikutpun ada syaratnya yakni tidak diperkenankan jika keluarganya ada yang sedang meninggal atau istrinya melahirkan.

    Tradisi ini yang dikutip dari Antara News dalam Taksu Tradisi Makotek, disebut makotek lantaran berawal dari suara kayu-kayu yang saling bertabrakan ketika kayu-kayu tersebut disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut keatas. "Makotek karena timbul dari suara kayu-kayu yang digabung jadi satu, bunyinya tek.. tek.. tek..

    Sebenarnya dulu tradisi ini bernama grebek yang artinya saling dorong," jelasnya. Dalam tradisinya, perang makotek ini dilakukan oleh sekitar ratusan kaum laki-laki yang berasal dari Desa Munggu. Mereka rata-rata berumur 13 hingga 60 tahun.
    Tradisi Makotek di depan Pura Desa Munggu
    Sebelum memulai atraksi ini peserta terlebih dahulu melakukan persembahyangan bersama di Pura desa, dengan dipercikkan air suci. "Atraksi ini ada pantangannya.

    Peserta yang ikut tidak boleh ada yang keluarganya sedang meninggal, dan istrinya melahirkan," ujarnya. Dalam permainannya, ratusan kayu-kayu tersebut masing-masing dipegang oleh para laki-laki dengan cara menggabungkan kayu sepanjang 3,5 meter dari pohon pulet hingga membentuk kerucut. Kemudian salah satu dari pemuda yang merasa tertantang pun harus menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

    Di sisi lain dengan cara yang sama, ratusan orang dengan kayu-kayu tersebut juga disatukan hingga berbentuk kerucut, dan dinaiki oleh salah seorang pemuda. Kedua kelompok dengan masing-masing kayu tersebut kemudian dipertemukan untuk berperang layaknya panglima perang.

    Meski cukup berbahaya karena banyak pula yang terjatuh dari ujung kayu, namun tradisi ini tetap dianggap menyenangkan dengan banyaknya orang yang berkali-kali mencoba untuk naik.

    Tradisi yang selalu dilakukan pada sore hari tersebut sempat menutup jalan selama beberapa jam ketika tradisi berjalan.