Saya sudah siap dengan pakian adat dan tas berisi kamera yang diselempangkan di bahu sembari pamitan sama orang tua saya menghidupkan mesin motor. Saya memang sudah melakukan persembahyangan tadi pagi, dengan pakian adat ringan saya akan mengunjungi tradisi unik yang ada di Banjar Timbrah tepatnya di Pura Panti, Desa Paksebali, Klungkung. Tradisi heroic yang memang bertepatan dengan Kuningan. Mengingat jarak rumah ke Paksebali lumayan dekat jadi saya putuskan datang jam 5 sore, info yang saya dapat dari salah seorang teman upacara akan dimulai jam 6 sore. Ini waktu yang terbilang mempet, datang sedikit lebih awal akan sedikit menguntungkan, barangkali bisa menangkap hal-hal unik lain yang ada dalam tradisi tersebut.
Tradisi yang unik ini memiliki kesamaan dengan tradisi yang ada didesa Bugbug, Karangasem, biasanya tradisini ini dilakukan disimpang empat desa dan disebutnya dengan tradisi Mebiasa yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Jempana. Entah apa yang melatar belakangi tradisi dua desa yang memiliki jarak yang lumayan jauh, satunya terletak dikecamatan Karangasem dan satunya lagi terletak di kecamatan Klungkung. Barangkali ada ikatan yang erat yang belum saya ketahui, selain memang berasal dari satu rumpun budaya Bali.
Ini adalah kunjungan perdana saya acara ini, waktu yang mepet dan sama sekali tidak tahu persis lokasi upacaranya dan sendirian pula, setelah bertanya pada penduduk setempat maka sampailah saya dipura tempat acara yang akan berlangsung yang ternyata untuk menuju lokasi upacaranya saya harus melalui gang yang hanya bisa dilalui satu mobil. Rupanya acara awal sudah berlangsung, sebagian pemedek sudah siap-siap akan turun menuju pura yang ada dibawah dekat sungai Unda dengan membawa berbagai macam prasarana upacara termasuk Jempana, alat berbentuk tandu yang digotong dua orang atau lebih sebagai simbolisasi stana para dewa. Inilah proses awal dari upacara Dewa Masraman, yang lumayan bikin saya ngos-ngosan menuruni anak tangga, ketahuan sekali jika saya memang jarang berolah raga, payah! Tak lebih dari 20 menit kemudian setelah proses persembahyangan berakhir mereka kembali ke atas ke Pura Panti dan disinilah puncak tradisi heroik dari Dewa Masraman itu berlangsung.
Sore menggeliat, bumi semakin remang, aroma dupa kian semerbak, suara gambelan mengalun seiring teriakan-teriakan dari para pembawa Jempana membuat suasana semakin mistis. Begitu tiba di pelataran pura para pengusung Jempana melakukan putaran beberapa kali, dimana tadinya satu Jempana diusung oleh dua hingga empat orang kini berubah menjadi belasan yang mengusung berputar-putar dengan penuh semangat sembari berteriak hingga tak ayal terjadi benturan-benturan dengan para pengusung Jempana lain yang jumblahnya tujuh buah. Pelataran pura yang tak lebih dari 3 are itu dipenuhi umat yang datang selain pengunjung yang juga antusias melihat tradisi Dewa Mesraman, sesekali debu berterbangan akibat atusiasnya pengusung Jempana berlarian menginjak tanah yang kering. Semakin keras suara Tetabuhan (suara gong) maka semakin kencang dan semangat pula mereka berlarian berputar di areal pura.
Suasana chaos berlangsung, satu persatu Jempana berusaha dimasukan ke dalam areal utama pura, mengingat pintu masuk yang kecil yang saya rasa hanya bisa dimasuki oleh satu badan manusia saja, maka tak ayal terjadi sedikit keributan ketika masih banyak penggotong Jempana yang memaksakan diri untuk masuk, sebagian dari mereka justru dalam keadaan trans, disinilah upaya-upaya masuk ke jaba pura terlihat semakin seru. Disudut lain beberapa pemangku memercikan tirta ke orang-orang yang kerasukan, sebagian dari mereka tak sadarkan diri bahkana ada yang pingsan, mungkin saking lelahnya. Keadaan makin terkendali seiring satu persatu dari jempana bisa dimasukan ke dalam areal utama Pura Panti.
Setelah terbius beberapa jam dari tradisi Dewa Masraman saya baru menyadari betapa keringnya kerongkongan saya, haus tak tertahankan. Kemudian bertemu beberapa teman-teman fotografer yang hadir disana, sempat berbincang sambil meneguk air mineral yang kami beli diwarung dekat pura. Hari telah malam, lampu-lampu pengganti matahari telah berpijar, hearphone sudah terpasang dan saya pacu motor dengan santai menuju Denpasar.

Anak-anakpun
tak punya andil sendiri didalam tradisi ini, mereka sedang membawa
panji-panji termasuk bendera Sang Saka Merah Putih.

Tradisi
inipun tak luput dari keris, pusaka yang nantinya dipakai untuk Ngurek
(menusuk-nusukan keris kebadan) ketika mereka sedang trans

Menghunus keris, seorang bapak-bapak sedang menghunus keris sambil menari-nari mengikuti irama gambelan.












Tidak ada komentar:
Posting Komentar